kotak sumbangan Beberapa hari lalu ada twit yang menyebutkan kalau semuanya sudah serba cashless dan banyak tempat yang nggak menerima uang tunai sebagai pembayaran. Twitnya rame. Hal ini sudah beberapa kali gw amati, pernah waktu makan di kafe dekat rumah niat hati pengen bayar pakai tunai eh harus pakai QRIS atau cashless. Bikin gw agak heran karena kok gw pengen bayar tunai tapi malah gak bisa. Iya memang gw sering banget cashless untuk sehari-hari. Tapi bukan berarti kita nggak boleh atau nggak bisa bayar pakai tunai juga kan? Kenapa ya kesannya sekarang kita udah perlahan menghilangkan uang tunai untuk pembayaran? Bukannya uang tunai adalah alat pembayaran yang sah juga ya? Iya tau, praktis banget kalau cashless tuh, terutama untuk pembayaran yang berjuta-juta. Tapi di sisi lain, uang tunai tuh masih sama berharganya. Gw nggak tahu dari sisi pebisnis yang hanya mau terima cashless aja. Coba bayangin, orang-orang tua yang nggak paham gimana cara bayar cashless, atau ada turis
Setelah melihat pembuatan kerambah di Banyumulek, kita geser langkah kaki kita menuju Desa Sukarara. Waktu pertama kali ke Lombok, kita hanya sempat ke Desa Sade tanpa ke Sukarara. Katanya sih Sukarara motifnya lebih cerah gitu. Disana, ada display beberapa ibu-ibu yang lagi nenun dan pake baju tradisional gitu. Kitapun disambut bapak pemandu yang secara otomatis manduin kita. Dan you know what, kita difoto sama salah satu pemandu disana buat koleksi pribadi dia sendiri dan seneng gitu katanya liat aku sama HJ. Lapo coba seneng iku? Dijelaskanlah semua hal yang berhubungan dengan Desa Sukarara ini. Kalau Desa Sade mempertahankan desain rumah adat dan keadatannya, Sukarara lebih ke sentra tenunannya. Jadi semacem workshop tenunan Lombok. Aku sempet nenun lho. Dengan harapan nggak merusak tenunan si ibu, akhirnya aku cobain nenun. Sambil nenun sambil mikir juga ini bikin motifnya gimana, kok bisa rapi begini. Benangnya dimasuk-masukin pokoknya sama si ibu terus 2 kali henta