Bentheim Gw tau Jerman tuh emang meticulous banget, tapi gw nggak sangka bakal se- meticulous itu. Kira-kira bulan Maret gw apply Schengen via Jerman. Kenapa via Jerman? Karena Belanda nggak ada slot heheheee. Rencana perginya bulan April kalau nggak salah waktu itu. Karena suami ada libur tapi cuma pendek banget, dan dia pengen banget pulang ke sana, yaudah lah coba aja. Dapet antrian, mana bayarnya 700ribu pula 😅 lalu pergilah gw submit semua dokumen gw. Gw bukan yang pertama kali mengajukan Schengen, jadi gw udah "tau" harus submit apa aja. Karena sebagai orang yang menikah dengan warga EU, kami berhak untuk tidak menunjukkan buku tabungan (yg penting tabungan pasangan yang EU yg ditampilkan), dll. Dengan ina inu, eh ternyata diminta surat kerja lah, kalau freelancer harus kasih tau bukti kerjaan juga. Gw rasa ribet ya karena nggak formal kerjanya, jadi ya udah gw tulis ibu rumah tangga. Itu juga masih harus bikin surat pernyataan siapa yg membiayai biaya hidup gw kala
Sekali lagi, tulisan ini hanya mengungkapkan apa yg ada dipikiran, benak, emosi, dan semuanya lah soal UAN. Mungkin ada juga orang yg berpikiran sama seperti saya. Ini saya hanya mengungkapkan apa yg ingin saya ungkapkan saja. Bukan maksud lain. Kalau toh dijadikan bahan renungan bagi pihak yg bersangkutan ya ndak apa-apa sih. Ok, here is what I think about UAN UAN, ato banyak juga yg bilang UN, kemarin saya melihat tayangan acara Sudut Pandang-nya mbak Fifi Aleyda Yahya di Metro TV, judulnya UN = Ujian Nasib. Bener ndak? Menurut saya iya. Saya sempat mengikuti beberapa segmen saja, namun yg sangat saya ingat adalah seorang anak juara kelas tidak lulus dan mengikuti UN sampai 3 kali hingga lulus. Hal ini dikarenakan dia ingin mendapatkan hasil UN yg jujur. Kasus pertama. Kasus kedua, ada seorang anak yang baru saja mengikuti UN, dan mengirim surat ke menteri pendidikan. Surat yg dia tulis dishare melalui semua media masa yang ada. Hingga akhirnya dia diundang di acara Hitam Putih-ny