pic taken from sea-globe.com
Hmm.. saya tidak terlalu senang dengan keputusan
memenjarakan Ahok. Saya melihat hal ini lebih kepada politik, bukan soal agama.
Ada yang mengatakan bahwa saya tidak membela agama saya sendiri ketika ‘katanya’
agama saya dinistakan. Well.. jika
memang hal ini lebih kepada penistaan agama, kenapa hanya Ahok saja yang
diproses hukum? Bagaimana dengan para pembakar kitab suci diluar sana? Atau…
bagaimana dengan para penista agama lain? Penghina agama lain? Ada lho orang
jalur keras yang menghina agama lain. Bukan berarti saya tidak pernah
membandingkan agama saya dengan agama lain, saya mengkaji bersama teman saya,
mengambil sisi mana yang sama dan sisi mana yang beda, dan itupun hanya untuk
konsumsi pribadi. Tak lantas mengagung-agungkan agama saya dan merendahkan
agama lain.
Mungkin benar, bapak Ahok ini tutur katanya ceplas ceplos,
cas cis cus, kalo kata orang nggak dipikir dulu itu menyakiti orang lain apa
tidak. Tapi kalo saya menjadi gubernur, bisa jadi saya menjadi orang yang
seperti beliau. Karena sekalinya saya melihat hal yang tidak pantas dan tidak
sesuai, saya akan marah. Seketika. Nggak perlu nunggu lama. Ah tapi hal itu
bisa diperbaiki. (dan untung saja saya tidak menjadi gubernur, bisa jadi nasib saya seperti beliau)
Hal ini semakin berat dengan adanya isu sara, yang banyak
orang yang tidak suka dengan Orang Cina. Hello…. Kenapa kalian nggak suka
dengan orang Cina? Apa karena trauma dengan kejadian masa lalu? Emang ada ya
yang namanya dosa turunan? Semisal nih nenek kalian yang bersalah dan berdosa
dimasa lalu, lantas hingga saat ini kalian masih menerima resiko atas dosa para
pendahulu kalian? Nggak adil kan?
Saya tidak bisa mengatakan pendapat saya ini benar. Bisa
jadi benar, tapi bisa jadi juga salah. Saya hanya mengungkapkan sudut pandang
saya melihat hal yang agak menjijikkan ini.
Mari kita bergeser ke sudut pandang politik. Kata orang
Jakarta, si bapak Ahok ini orangnya bersih. Beberapa pos yang becek sudah mulai
dipadatkan kembali ke sedia kala. Kalau di Surabaya ini Bu Risma lah yang banter memerangi korupsi. Kata nenek
saya yang tinggal di Jakarta, Jakarta menjadi lebih beres ketika Ahok memimpin.
Menjadi lebih teratur. Tak ada lagi pungli. Manusia tidak ada yang sempurna,
semuanya juga tau, tapi dari sini saya bisa sedikit menyimpulkan kalau si bapak
Ahok ini orangnya bersih, anti korupsi.
Yang susah siapa? Ya koruptor lah jelas. Berapa perbandingan
jumlah koruptor dibandingkan dengan jumlah orang yang bersih? Saya belum pernah
mengadakan riset sih, tapi mungkin…. Satu banding sekian puluh? Satu banding
sekian ratus? Atau satu banding sekian ribu?
Ada pernyataan dari seorang yang dianggap orang ‘alim’,
beliau mengatakan lebih baik memilih koruptor daripada memilih pemimpin non
islam. Bagi orang muslim, mungkin memang lebih diutamakan memilih orang muslim
terlebih dahulu, tapi bagaimana jika orang muslim tersebut koruptor? Akankah anda
memilihnya? Kalau saya, jelas tidak!
Pos mana saja yang rentan korupsi? Tentu saja semua pos. Pos
penyelenggara haji kala itu ketauan korupsi besar-besaran, pos untuk bikin
kitab suci juga katanya, pos bikin e-KTP juga sudah ketahuan (btw, KTP saya
udah rusak sak sak, jangan-jangan itu juga hasil dari korupsi???), dan saya
yakin masih banyak pos lainnya yang memelihara banyak tikus disarangnya.
Kembali lagi ke pemimpin yang bukan non muslim. ‘Jangan
pilih pemimpin non muslim!’, begitu katanya. Tapi sekarang coba kita geser
pantat kita menuju Bali. Apakah pemimpin Bali (sebut saja gubernur) adalah
orang muslim? Bapak I Made Mangku Pastika bukanlah seorang muslim. Mungkin akan
ada yang menjawab ‘tapi kan Bali memang nonmuslim, banyak hindunya’. Tapi di
Bali pun ada orang muslim meskipun kecil. Bagaimana dengan nasib mereka? Haruskah
mereka protes dan memilih pemimpin muslim? Bagaimana dengan gubernur Nusa
Tenggara Barat? Papua? Maluku? Dan bagian lainnya Indonesia? Kalau memang
kalian protes memiliki seorang pemimpin haruslah seorang yang beragama islam,
kenapa tidak ada yang protes untuk daerah lain?
Menyoal tentang ras, meskipun beliau seorang keturunan
Tionghoa, beliau tetaplah seorang WNI. Kecuali jika beliau datang dari China
menuju Indonesia khusus untuk mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta. Bunuh
Diri itu namanya. Jika hal ini tentang ras, Bapak Henk Ngantung adalah seorang nasrani
keturunan Tionghoa yang menjadi gubernur Jakarta dimasa Soekarno. Geser yuk, ke
seseorang yang bernama Abdurahman Wahid atau yang lebih ngetop dipanggil Gus
Dur. Beliau itu keturunan tionghoa lho. Jadi presiden lagi.
Ada seorang kawannya kawan, tak ada angin tak ada pula badai
tiba-tiba ‘curhat’ dan berbicara hoax kepada teman saya. Ujungnya dia yang
notabene seorang ‘alim’ ini menghina agama lain dan ras keturunan tionghoa ini.
Saya merasa ngeri. Dia bersekolah tinggi, tapi sayangnya dia tidak
berpendidikan. Manfaatnya menghina
keturunan tionghoa itu ya apa?? Toh banyak dari mereka yang berjasa bagi negeri
ini.
‘Hal yang memberatkan diantaranya terdakwa tidak merasa
bersalah, perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan dan mencederai umat
Islam serta perbuatan terdakwa dapat memecah kerukunan umat beragama dan antar
golongan’. Begitu kata pak hakim yang terhormat. Bapak hakim yang terhormat,
perlukan saya mengatakan bahwa yang dapat memecah kerukunan umat beragama dan
antar golongan adalah provokasi yang dilakukan orang yang tidak bertanggung
jawab?
Membaca pernyataan hakim tersebut membuat saya merasa tidak aman dinegeri saya sendiri. Pasangan saya pun mengatakan demikian. Orang dengan mudahnya menghakimi orang lain yang tidak sependapat dengannya. Jangan salahkan kami yang merasa terancam di negeri sendiri, akan lebih memilih bermukim di negeri lain yang menjamin keselamatan dan ketentraman pribadi.
Yang paling berbahagia dari kasus Ahok yang dipenjarakan ini
tak lain dan tak bukan adalah kaum koruptor, dan kaum follower alay. Well… satu
orang bersih masuk jeruji besi, otomatis para penggiat ‘uang masuk kantong
pribadi’ pun senang karena aksinya masih akan bisa dilanjutkan hingga malaikat
maut menyapanya.
Kadang saya sering bermimpi disiang hari. Memikirkan kapan
negeri ini benar-benar merdeka. Dari kebodohan, dari korupsi, dari
keterbelakangan mental, dari segala hal yang justru semakin menjatuhkan negeri
ini.
Ingatlah, kita ini Indonesia, bermacam-macam suku, ras dan agama, yang berbasis Pancasila. Bukan berbasis Islam yang diperuntukkan satu ras.