In this extraordinary life, I would be a teacher still. Helping people to understand even some little things to make them feel worthy and understand themselves better. It seems that teaching has become a calling for me. Not about teaching such specific subject like mathematics or so, but more like... I like to give new perspectives for people, and having them saying "Oh.... I see..." is satisfying for me. Of course, by teaching I can learn so many new perspectives from different people too. It's like the more I teach the more I learn, and that is so true. Maybe more like a guide. I like giving guidance to people who needs it. No, I don't like giving unsolicited guiding. I like to guide people who wants to be guided. I'd teach them how to love, love themselves first. Yea sure when we are talking about things, they would say "do useful things like engineering, plumbing, this and that" but they tend to forget that we need some balance in life. Not saying t
Mardiyem, mantan jugun ianfu (pic : santijehannanda.com) Menyambung postingan sebelumnya tentang Nyai, yang beken di era penjajahan Belanda hingga Jepang menginvasi Indonesia (sekitar taun 1942), Jepang memiliki cara tersendiri untuk memenuhi hasrat para prajuritnya. Jugun Ianfu sebutannya. Berbeda dengan memelihara gundik di masa penjajahan Belanda, Jepang cenderung menyediakan wanita-wanita Negara jajahan untuk memenuhi hasrat seksualnya. Jika prajurit Belanda direkomendasikan untuk memelihara satu gundik (yang mana gundik tersebut memang mau untuk dijadikan gundik karena pilihannya sendiri), maka pemerintahan Jepang dengan 'senang hati' memaksa wanita Indonesia untuk dijadikan 'ransum' prajurit. Saya sedih sih menyebutnya ransum, seolah mereka makanan yang disajikan untuk dilahap. Bagaimana dengan teknisnya? Jepang 'merekrut' wanita-wanita bahkan anak-anak pun tak lepas darinya. Ada yang kurang beruntung berusia 12 tahun, bahkan ya