In this extraordinary life, I would be a teacher still. Helping people to understand even some little things to make them feel worthy and understand themselves better. It seems that teaching has become a calling for me. Not about teaching such specific subject like mathematics or so, but more like... I like to give new perspectives for people, and having them saying "Oh.... I see..." is satisfying for me. Of course, by teaching I can learn so many new perspectives from different people too. It's like the more I teach the more I learn, and that is so true. Maybe more like a guide. I like giving guidance to people who needs it. No, I don't like giving unsolicited guiding. I like to guide people who wants to be guided. I'd teach them how to love, love themselves first. Yea sure when we are talking about things, they would say "do useful things like engineering, plumbing, this and that" but they tend to forget that we need some balance in life. Not saying t
...
Keesokan paginya kita
ada jadwal ke kantor MUI. Nyapo? Minta surat pengesahan keislaman. Ya
kali nikah kudu pake begituan kan buat yang mixed couple ini. Sebenernya secara
praktikal dia sudah menjalankan kewajibannya. Hanya saja tanpa memiliki surat
keterangan tersebut. Jadilah kita dibantu Pak Ustad kenalan keluarga yang
kebetulan aja temennya ketua MUI Pasuruan. Kepriben tho? Langsung ke
ketuanya mintanya.
Syaratnya ya sama aja
sih sebenernya, cuman mengucapkan dua kalimat syahadat dan ya sudah disaksikan
orang-orang disana. Karena diurusin sama pak ustad, jadilah saya tugasnya cuman
menerjemah aja hehe. Gegara orang-orang disana pada bisa Bahasa Arab tapi nggak
ada yang bisa Bahasa Inggris. Barulah ketika datang itu si bapak sekertaris
MUI, yang bisa Bahasa Inggris dikit-dikit, baru deh bisa saya tinggal pipis.
Saya deg-degan lho,
padahal kan ini cuman bikin suratnya aja. Tapi pas dia ngucapin itu sama
artinya saya deg-deg an banget. Kesannya kayak pertama kali gitu. Hemm
bener-bener deg-deg an. Suasananya sih santai banget. Santai banget, mereka
pada pake sarung tho, yang akhirnya dia nanya ‘itu mereka pake dress apa sih
sayang kok keliatannya enak banget’
Setelah sah, resmi,
kita lanjut ngeprint dokumennya. Menulis sih lebih tepatnya. Nama saya tertulis
sebagai saksi dan nama dia juga ditulis juga yang nama islamnya. Nggak wajib
sih, tapi kalo ada ya lebih bagus katanya. Manut wae lah. Wis nulis
lengkap semuanya, drama dimulai eng ing enggggg…
‘Aduh mbak kok
printernya ngadat sih?’
‘Lah trus gimana dong Pak?’
‘Ini masih dibenerin sih, bisa kok, tapi ya nunggu. Nggak ada jadwal kemana-mana kan?’
‘Santai kok pak’
‘Lah trus gimana dong Pak?’
‘Ini masih dibenerin sih, bisa kok, tapi ya nunggu. Nggak ada jadwal kemana-mana kan?’
‘Santai kok pak’
Karena kesian telah
membuat kita menunggu lama, akhirnya diputuskan untuk print diluar. Baru
juga 5 menit keluar eh lampu mati. Trus bapak-bapak yang lain bilang : ‘wahh
kalo lampu mati gini bisa sampek malam mini. Gimana ini?’
Mampus lah kowe
Ya udah akhirnya
dengan perdebatan sengit dan alot akhirnya diputuskan untuk ketemu lagi besok
dengan bapak sekertaris itu untuk mengambil sertifikat. Kebetulan rumah bapak
itu nggak jauh dari rumahku. Yawes lah, kita langsung cus pulang dan makan
bakso.
Oiya untuk fee
sebenernya gratis, cuman kasih semacem ‘infaq’ aja gitu. Rata-rata sih 200
ribu. Mau lebih juga nggak apa-apa.
…bersambung lagi…
Infaq opo kui mbak 200 ewu???
ReplyDeleteSalah sui ngko dadi inFAK.....
Harusnya tak ralat ya. Administrasi fee seikhlasnya hahaha
Delete*seikhlasnya tp minim 200rb hahah