kotak sumbangan Beberapa hari lalu ada twit yang menyebutkan kalau semuanya sudah serba cashless dan banyak tempat yang nggak menerima uang tunai sebagai pembayaran. Twitnya rame. Hal ini sudah beberapa kali gw amati, pernah waktu makan di kafe dekat rumah niat hati pengen bayar pakai tunai eh harus pakai QRIS atau cashless. Bikin gw agak heran karena kok gw pengen bayar tunai tapi malah gak bisa. Iya memang gw sering banget cashless untuk sehari-hari. Tapi bukan berarti kita nggak boleh atau nggak bisa bayar pakai tunai juga kan? Kenapa ya kesannya sekarang kita udah perlahan menghilangkan uang tunai untuk pembayaran? Bukannya uang tunai adalah alat pembayaran yang sah juga ya? Iya tau, praktis banget kalau cashless tuh, terutama untuk pembayaran yang berjuta-juta. Tapi di sisi lain, uang tunai tuh masih sama berharganya. Gw nggak tahu dari sisi pebisnis yang hanya mau terima cashless aja. Coba bayangin, orang-orang tua yang nggak paham gimana cara bayar cashless, atau ada turis
Buku ketiga dari Buru Tetralogi ini lebih berat dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Disini banyak disinggung tentang Multatuli yang mengungkap "kotornya" birokrasi. Kotor disini tentu saja soal korupsi. Semakin dalam membaca ternyata semakin paham kalo kemungkinan besar korupsi ini "warisan budaya" kolonial.
Buku ini pun mengatakan bahwa kolonial berhutang banyak gulden kepada Hindia Belanda atas semua hitungan 'meleset'nya penerimaan pajak dan penyalurannya. Siapa yang nggak mau untung banyak? Ya kolonial menang banyak. Bahkan kalau mau benar-benar dihitung, bisa jadi mereka kalah. Tapi nggak mungkin kan diusut karena kolonial tau kalau mereka bakal ketauan salah dan memungkiri itu. Jadi yaaa, lenyap begitu saja.
Disini Minke kawin setelah ditinggal Annelies yang Indo dia kawin dengan yang orang tionghoa. Lagi-lagi pula dia ditinggalkan karena istrinya sakit (kemudian kawin lagi dengan Prinses yang ntah darimana tapi yang jelas dia berpendidikan karena bisa membantu bisnis Minke). Disitu ada pernyataan mamaknya yang bilang kok kamu lebih suka sama yang bukan pribumi itu kenapa sih? Minke secara garis besar jawabnya, karena mereka nggak perlu menyembah-nyembah, ndelosor menggeret kaki hanya karena jabatan atau status yang harus dihargai. Karena menghargai orang pun bukan dengan cara klasik yang harus sembah menyembah seperti yang dilakukan di Jawa. Minke paling anti ndelosor-ndelosor seperti itu. Minke benci ke patriaki an bapaknya terhadap ibu dan anak-anaknya. Minke menampar gw lagi nih, salah satu alasan gw nggak kawin sama lelaki sebangsa juga karena itu (jangan digeneralisasi kalau semua lelaki di sini condong ke patriaki, nggak semuanya).
Minke berani betul ya ambil keputusan untuk sekolah kedokteran meskipun passionnya nggak disana karena dia mikir bisa jadi nanti yang dibutuhkan rakyat sini sebetulnya adalah aku untuk jadi dokter pribumi dan melayani mereka yang tak mampu berobat seperti orang totok. Lucunya, waktu di STOVIA Minke diminta berpakaian seperti orang pribumi yang nggak boleh pake sandal, pake baju ala Jawa, ntah kenapa gw bisa rasain betapa depresinya Minke yang dilarang mengenakan pakaian atau apapun yang dia kehendaki tanpa harus menuruti aturan berdasarkan rasnya. Lagi-lagi gw bisa rasain gimana jadi di posisi Minke kali itu. Minke mungkin lahir bulan Agustus lol! Rebel!
Tapi Minke cukup berani bisa mendirikan kantor beritanya sendiri meskipun ya harus dipecat dari sekolah kedokteran. Minke berani mendirikan organisasi yang awalnya debat juga mau pake bahasa apa. Bahasa Belanda, ini ditujukan buat organisasi pribumi. Sedangkan kalau Bahasa Jawa, anggotanya nggak hanya orang Jawa. Debat kusir sana sini akhirnya diputuskan untuk menggunakan bahasa Melayu sekolahan (bukan yang pasar) sebagai bahasa pengantar.
Korannya pun didapuk sebagai koran pertama yang menggunakan bahasa pribumi yang dicetak dengan huruf yang cukup besar. Mungkin terlihat kurang etis dari segi presentasi tapi alasannya sangatlah masuk akal. Untuk pembaca yang tak mampu membeli kacamata, sehingga koran harus dicetak dengan huruf besar agar mereka juga bisa membaca.
Sejak itu kegiatan Minke dalam tulis menullis menjadi makin intens menyebarkan berita tentang apa yang terjadi. Semacem peduli amat sih sama aturan ga masuk akal yang dibikin kolonial dan "adat" yang nggak memanusiakan manusia. Kata bundanya "Tidak ada yang memperhatikan nasib petani selain kamu, ngapain kamu memperhatikan mereka. Mereka memang nasibnya seperti itu dan harus menghormati para priyayi dan pimpinan". Pernyataan itu cukup untuk menggambarkan betapa nasib manusia hanya ditentukan dengan derajat yang dimilikinya. Kalau beruntung ya terlahir sebagai priyayi, tapi kalau nggak beruntung ya selamanya jadi golongan bawah di kaum petani dan semakin dekat ke tanah semakin rendah harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Mereka terlahir sebagai "budak" yang harus mematuhi tuannya dan tidak memiliki hak untuk berbicara dan berpendapat. Bersyukur ya hidup di jaman modern ini, yang nggak harus ngesot untuk menyatakan bentuk hormat kepada pimpinan.
Posisi Minke jelas berbahaya bagi beberapa orang yang jabatannya diatas. Karena tipe seorang Minke adalah pemberontak terhadap hal-hal yang tidak memanusiakan manusia. Disitu gw mikir kalau sebenernya kita juga masih butuh orang-orang seperti Minke di era sekarang pun.
Gw benci banget politik, tapi gw bukan orang yang anti politik. Gw tahu politik itu kotor, keras dan jilat menjilat. Tapi untuk membersihkan rumah yang kotor kita harus masuk ke rumah tersebut dan mulai menyapu mengepel rumah tersebut bukan?
Menarik banget review-nya, thank you ya, ringkasannya jelas jadi tahu kalau ada yang ga suka kawin ama pribumi biar ga ndelosor geretgeret kaki nyembah2 buat sebuah keingingan atau jabatan...Anyway Pram emang gitu bahasanya, hal yang sama juga terungkap waktu dia menjelaskan tentang pribumi di bukunya Arok Dedes
ReplyDeleteiya bahasanya pram bikin jatuh cinta. skrg masih baca buku keempat tetralogi buru, nanti aku baca yg arok dedes juga. Kayaknya menarik banget ya :)
DeleteBener mbak, saya cinta banget...ntar baca juga deh Gadis Pantai..
DeleteDitunggu review berikutnya...
akan kubaca semua bukunya pram :D sudah terlanjur jatuh cinta soalnya hehe
DeleteArok dedes saya juga punya. Pokoknya semua bukunya menarik ,walau awal mulanya bingung dengan makna dan arti kosa kata bahasanya.
Deleteah disini pun banyak digunakan kata2 yang harus mikir dulu artinya apa. mungkin krn emg beda jaman, tapi seruuuu. ntar taun depan baru beli arok dedes. skrg diselesein dulu deh rumah kaca nya hehe
DeleteUlasan reviewnya mantap sekali. Saya benar-benar kalah. Saya hanya mereview secara keseluruhan dari empat buku tersebut. Bagi saya politik adalah sebuah seni. Dan pastinya harus bisa juga bersandiwara.
ReplyDeletewaduh reviewnya cuma ala saya dan dari sudut pandang saya hehehh
Deletepolitik itu seni betul, krn kudu pinter sandiwara ya :D
ada niat terjun ke dunia sandiwara bang?