Skip to main content

Romanticizing My Cooking

Bakso I have to admit that my love for cooking is growing. It's growing and I can't believe it myself. This feeling has been like this since probably two years ago. Before, cooking felt like a hard work that I had to fulfill. It still is, but the difference is I enjoy it now. So it does not feel like I am forcing myself.  Back then whenever I cooked, it's either wrong recipe or incorrect measurement. It never tasted right. So I gave up cooking just because I never found the right one. And then I started to feel that I wanna eat better. I don't want to just eat whatever, I want to know what goes into my body. If I prepare it myself, then I know it's good one.  I don't eat too much sugar, sometimes it is hard to buy one thing outside and has a lot of sugar in it. So cooking it myself will allow me to control the amount of sugar. So I found recipes and I tried to make them. As to my surprise, they taste right! Exactly how they should have tasted. That made me happy

UN menentukan nasib pelajar Indonesia

Sekali lagi, tulisan ini hanya mengungkapkan apa yg ada dipikiran, benak, emosi, dan semuanya lah soal UAN. Mungkin ada juga orang yg berpikiran sama seperti saya. Ini saya hanya mengungkapkan apa yg ingin saya ungkapkan saja. Bukan maksud lain. Kalau toh dijadikan bahan renungan bagi pihak yg bersangkutan ya ndak apa-apa sih.

Ok, here is what I think about UAN

UAN, ato banyak juga yg bilang UN, kemarin saya melihat tayangan acara Sudut Pandang-nya mbak Fifi Aleyda Yahya di Metro TV, judulnya UN = Ujian Nasib. Bener ndak? Menurut saya iya. Saya sempat mengikuti beberapa segmen saja, namun yg sangat saya ingat adalah seorang anak juara kelas tidak lulus dan mengikuti UN sampai 3 kali hingga lulus. Hal ini dikarenakan dia ingin mendapatkan hasil UN yg jujur. Kasus pertama.

Kasus kedua, ada seorang anak yang baru saja mengikuti UN, dan mengirim surat ke menteri pendidikan. Surat yg dia tulis dishare melalui semua media masa yang ada. Hingga akhirnya dia diundang di acara Hitam Putih-nya om Dedi Corbuzier di Trans7. Surat itu intinya pelaporan atas soal ujian yang ternyata ada yang berstandart internasional dengan tingkat kesulitan yg sangat bahkan gurunya saja tidak bisa mengerjakan dalam waktu singkat. Soal itu tidak layak dijadikan soal UN. Udah pada tau kan kasus itu? Pasti banyak nongol di tv deh tuh bocah.

Iya, melihat kedua hal tersebut. Saya mikir, apa sih tujuan UN? Ternyata sekjen pendidikan kita bilang (lupa jabatan lengkapnya, pokoknya Ibu ini termasuk petinggi dunia pendidikan lah), beliau mengatakan bahwa UN menyangkut 4 aspek. Pemetaan pendidikan, mutu sekolah, (yang 2 lupa hehehe). Dan beliau mengatakan bahwa UN baru bisa memenuhi satu aspek yg pemerataan. Okelah anggap saja Indonesia perlu memiliki standart yg sama. Salah satu petinggi di menteri pendidikan dan juga ahli pendidikan (lupa siapa namanya dan jabatannya) mengatakan bahwa UN tidak harus menjadi tekanan yg berlebih bagi siswa, Kalau toh mereka merasa tertekan, sebenarnya ini juga latihan bagi mereka untuk menghadapi dunia kerja yg penuh tekanan. Menurut saya sih, jangan samakan UN dengan latihan test under presure kalau bekerja. Ini hal yang tidak bisa disamakan bapak. Mereka bilang bahwa orang yg stres menghadapi UN hanya sekitar 7% sedangkan yang 47% (atau berapalah tepatnya lupa, yg jelas hampir 50%) ini tidak mengalami stres, atau sebut saja mereka biasa saja menghadapi stres. Kalau ini mah siswa-siswi yang kagak terlalu serius mengahdapi UN.

In fact, siswa yg tidak stres tersebut memiliki pemikiran "Ah ntar juga dapet kunci jawaban". Iya ini beneran ini, buktinya teman-teman saya yg yahud banget otaknya cemas banget pas UN. Wow. Ok, lanjut ya yg lain. Kata bapak-bapak yg tadi juga bilang kalau kita perlu mendidik siswa menjadi orang jujur. Kalau semua siswa jujur saat UN, tidak menerima kunci jawaban ataupun contekan dari teman, benar-benar murni hasil sendiri, bisa-bisa tingkat ketidaklulusan siswa meningkat lho. Yakin deh gue. Gini ya, contoh, materi UN bagi saya yg benar-benar tidak masuk akal adalah soal matematika. Saat itu saya UN tahun 2009. Saya juga jadi orang kagak bodho-bodho amat. Ngerjain soal matematika, dari 40 soal cuma bisa terjawab paling banyak nggak sampai 10 soal dg jawaban benar. Dengan sisa waktu 15menit, saya masih mengosongkan sekitar 30 soal. Akhirnya, yaaaa mau gimana lagi, kerja samalah kita. Ini rahasia umum sih ya kalo soal kerja sama dikelas. Nilai yg saya dapat sekitar 80an. Kalau saya tidak kerja sama, bisa-bisa saya nggak lulus. Yakin deh. Nggak cuma saya, tapi banyak yg lain juga. Apa ini yg diinginkan petinggi pendidikan? Melihat banyak siswa tidak lulus dan menginginkan mereka mengulang UN taun depan? Nggak kebayang berapa dana tambahan yg harus disediakan pemerintah utk kuota siswa taun lalu yg tak lulus dan mengikuti ujian lagi. Ribet! Ada lagi kasus siswa yg bunuh diri krn akibat dr ketidaklulusannya. Padahal dia juara kelas, otak encer. Kan sayang, kita kehilangan satu generasi yahud calon pembangun bangsa. Siapa tahu 5-10tahun lagi dia bisa membawa Indonesia berjejer bersaing dan melaju berdampingan dengan Jepang atau Jerman, who knows?? Sayang jelasnya. Ada kasus lain lagi nih, yg rawan terjadi, LJK. Sayang kan jawaban yg benar menjadi salah hanya karena ada sedikit garis diluar lingkaran jawaban keramat itu. Eman!

Menurut saya, menurut pandangan saya ini ya, UN itu ndak penting! Jangan tentukan kelulusan siswa dr UN saja. Tidak adil bagi mereka. Ya memang walaupun 60-40, tetap saja UN jadi momok terbesar dan menakutkan bagi siswa siswi. Kemampuan setiap anakpun berbeda, seperti kata Einstein "semua orang itu cerdas, tapi kalo ikan dipaksa buat manjat pohon ya selamanya ikan akan menganggap dirinya bodoh" (inget2 kata om Dedi dihitam putih). Positifnya kalau UN ditiadakan antara lain, tidak ada joki kunci jawaban, siswa tidak stres (karena dlm proses belajar menurut Ki Hajar Dewantara belajar itu tidak boleh stres dan harus menyenangkan -kata ini inget omongan ibu sekjen di hitam putih-), siswa lebih mampu mengekplor kemampuan terhadap bidang tertentu.

Menurut saya lagi ini, pihak-pihak terkait yg mengatur perihal UN, harus membuka mata lebar-lebar bahwa UN justru memperburuk kondisi pendidikan Indonesia. Janganlah kalian wahai pihak yg berada diatas sana, malas untuk mendidik dan memberikan yg terbaik utk generasi pembangun bangsa. Berikanlah mereka siswa siswi generasi bangsa satu reward atas apa yg telah dilakukannya selama 3 tahun masa belajarnya disekolah (atau 6 tahun utk SD). mereka berhak atau tidaknya menerima penilaian yg memuaskan atau tidaknya atas kerja keras selama sekian tahun. Itu akan lebih memacu siswa memperoleh dan mengetahui apa yg terbaik bagi dirinya.

#ah sekali lagi ini hanya tulisan dan uneg-uneg saya, hanya ada sih sedikit (sedikit doang) maksud dibelakangnya, hanya ingin memberikan pendapat saja. Saya yakin ada beberapa yg berpendapat seperti saya. Hanya masukan untuk Indonesia yg lebih baik. Itu saja. Prihatin atas apa yg terjadi kepada alon generasi pembangun negara tercinta#

Comments

Popular posts from this blog

Romanticizing My Cooking

Bakso I have to admit that my love for cooking is growing. It's growing and I can't believe it myself. This feeling has been like this since probably two years ago. Before, cooking felt like a hard work that I had to fulfill. It still is, but the difference is I enjoy it now. So it does not feel like I am forcing myself.  Back then whenever I cooked, it's either wrong recipe or incorrect measurement. It never tasted right. So I gave up cooking just because I never found the right one. And then I started to feel that I wanna eat better. I don't want to just eat whatever, I want to know what goes into my body. If I prepare it myself, then I know it's good one.  I don't eat too much sugar, sometimes it is hard to buy one thing outside and has a lot of sugar in it. So cooking it myself will allow me to control the amount of sugar. So I found recipes and I tried to make them. As to my surprise, they taste right! Exactly how they should have tasted. That made me happy

Mengenal Nyai, Eyang Buyut Orang Indo Kebanyakan

  Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya tentang darah campuran Eropa, saya pernah janji nulis tentang orang Indo dan Nyai, nenek buyut dari para Indo kebanyakan. Sekarang kita liat definisi dari Indo sendiri. Jadi Indo (Indo-Europeaan atau Eropa Hindia) adalah para keturunan yang hidup di Hindia Belanda (Indonesia) atau di Eropa yang merupakan keturunan dari orang Indonesia dengan orang Eropa (Kebanyakan Belanda, Jerman, Prancis, Belgia). Itulah kenapa saya agak risih mendengar orang menyebut Indonesia dengan singkatan Indo. Karena kedua hal itu beda definisi dan arti. Sekarang apa itu Nyai? Apa definisi dari Nyai? Nyai adalah seorang perempuan pribumi (bisa jadi orang Indonesia asli), Tionghoa dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia Belanda. Hidup bersama atau samenleven yang artinya kumpul kebo, tidak menikah. Fungsinya nyai itu apa? Fungsinya diatas seorang baboe dan dibawah seorang istri, tapi wajib melakukan kewajiban seorang baboe dan istri. Karena mem

Soal ujian TOPIK vs EPS TOPIK

Setelah membahas perbedaan TOPIK dan EPS TOPIK , kali ini saya akan menulis materi tentang apa saja yg diujikan *agak sedikit detail ya*. Pengalaman mengikuti dan 'membimbing' untuk kedua ujian tersebut, jadi sedikit banyak mengetahui detail soal yg diujikan. Dimulai dari EPS TOPIK. Jika anda adalah warga yg ingin menjadi TKI/TKW di Korea, lulus ujian ini adalah wajib hukumnya. Kebanyakan dari mereka ingin cara singkat karena ingin segera berangkat sehingga menggunakan cara ilegal. Bahkan ada yg lulus tanpa ujian. Bisa saja, tapi di Korea dia mlongo. Untuk soal EPS TOPIK, soal-soal yg keluar adalah materi tentang perpabrikan dan perusahaan semacem palu, obeng, cangkul, cara memupuk, cara memerah susu sapi, cara mengurus asuransi, cara melaporkan majikan yg nggak bener, cara membaca slip gaji, sampai soal kecelakaan kerja. Intinya tentang bagaimana mengetahui hak dan kewajiban bekerja di Korea termasuk printilan yang berhubungan dengan pekerjaan. Karena yang melalui jalur ini